Sejarah Sebagai Seni
“Hai guys,..... sejarah kelas x
.blogspot.com kali ini akan membahas tentang Sejarah Sebagai Seni.
Postingan ini diharapkan dapat membantu
kalian dalam mengamati, mengajukan pertanyaan, mengumpulkan data
lanjutan, mengasosiasi serta mengkomunikasikan hasil analisis dalam
bentuk mengenai pengertian ilmu sejarah, objek ilmu sejarah, sumber ilmu
sejarah, peristiwa sejarah, tema-tema kajian
ilmu sejarah, tujuan dan makna belajar masa lalu.”
Tokoh penganjur sejarah
sebagai seni adalah George Macauly Travelyan. Menurut Travelyan menulis sebuah
kisah peristiwa sejarah tidaklah mudah karena memerlukan imajinasi dan seni. Dalam
seni dibutuhkan intuisi, emosi, dan gaya bahasa. Sejarah dapat juga dilihat
sebagai seni. Seperti halnya seni, sejarah juga membutuhkan intuisi, imajinasi,
emosi, dan gaya bahasa.
Intuisi dibutuhkan sejarawan
terutama yang berkaitan dengan pemahaman langsung selama penelitian. Setiap
langkah yang harus dikerjakan oleh sejarawan memerlukan kepandaian dalam
memutuskan apa yang harus dilakukan. Seringkali untuk memilih suatu penjelasan,
bukanlah perangkat ilmu yang berjalan tetapi intuisi. Demikian halnya ketika
harus menggambarkan suatu peristiwa atau berupa deskripsi, sejarawan sering
tidak sanggup melanjutkan tulisannya. Dalam keadaan seperti itu, sebenarnya
yang diperlukan adalah intuisi. Namun, meskipun mengandalkan intuisi, sejarawan
harus tetap berdasarkan data yang dimilikinya.
Sejarawan juga membutuhkan
imajinasi, misalnya membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sedang
terjadi, pada suatu periode yang ditelitinya. Imajinasi yang digunakan tentunya
bukanlah imajinasi liar melainkan berdasarkan keterangan atau data yang
mendukung. Misalnya seorang sejarawan akan menulis priyayi awal abad ke-20. Ia
harus memiliki gambaran, mungkin priyayi itu anak cucu kaum bangsawan atau raja
yang turun statusnya karena sebab-sebab alamiah atau politis. Imajinasi seorang
sejarawan juga harus jalan jika ia ingin memahami perlawanan Sultan Palembang
yang berada di luar ibu kota pada abad ke-19. Sejarawan dituntut untuk dapat
membayangkan sungai dan hutan yang mungkin jadi tempat baik untuk bersembunyi
(Kuntowijoyo 2001:70).
Demikian halnya dengan emosi.
Dalam penulisan sejarah terdapat pula keterlibatan emosi. Di sini penulis
sejarah perlu memiliki empati yang menyatukan dirinya dengan objek yang
diteliti. Pada penulisan sejarah zaman Romantik yaitu pada akhir abad ke-18 dan
awal abad ke-19, sejarah dianggap sebagai cabang sastra. Akibatnya, menulis
sejarah disamakan dengan menulis sastra, artinya menulis sejarah harus dengan
keterlibatan emosional. Orang yang membaca sejarah penaklukan Meksiko, jatuhnya
Romawi, pelayaran orang Inggris ke Amerika, harus dibuat seolah-olah hadir dan
menyaksikan sendiri peristiwa itu. Penulisnya harus berempati, menyatukan
perasaan dengan objeknya. Diharapkan sejarawan dapat menghadirkan objeknya
seolah-olah pembacanya mengalami sendiri peristiwa itu (Kuntowijoyo
2001:70-71).
Unsur lain yang tidak kalah
pentingnya adalah gaya bahasa. Dalam penulisan sejarah, sejarawan harus
menggunakan gaya bahasa yang tidak berbelit-belit, tidak berbunga-bunga, tidak
membosankan, komunikatif dan mudah dipahami. Khususnya dalam menghidupkan suatu
kisah di masa lalu. Di sini yang diperlukan adalah kemampuan menulis secara
terperinci (detail).
Berbeda dengan karya sastra,
dalam penulisan sejarah harus berusaha memberikan informasi yang lengkap dan
jelas. Serta menghindari subjektivitas dan mengedepankan obyektivitas
berdasarkan penggunaan metode penelitian yang tepat.
Namun, sejarah sebagai seni
memiliki beberapa kekurangan yaitu sejarah sebagai seni akan kehilangan
ketepatan dan obyektivitasnya. Alasannya, seni merupakan hasil
imajinasi.
Sementara ketepatan dan obyektivitas merupakan hal yang diperlukan dalam
penulisan sejarah. Ketepatan berarti adanya kesesuaian antara fakta dan
penulisan sejarah. Sedangkan obyektivitas berarti tidak ada pandangan
yang individual. Kedua hal ini menimbulkan kepercayaan orang
pada sejarawan dan memberikan kesan penguasaan sejarawan atas detail
tulisan
sejarah. Namun, kesan akan kedua hal itu akan hilang jika sejarah
menjadi seni
karena sejarah berdasarkan fakta dan seni merupakan hasil imajinasi.
Sejarah
yang terlalu dekat seni pun dapat dianggap telah memalsukan fakta.
Sumber :
Referensi
:
- Abdullah, Taufik. 2001. Nasionalisme & Sejarah. Bandung: Satya Historika.
- Alfian, Ibrahim (eds.). 1992. Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
- Ali. R. Moh. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. diterbitkan pertama kali 1963 oleh Bharata Jakarta. Yogyakarta: LKIS.
- Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah. Jakarta: Gramedia.
- Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.
- Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Kuntowidjoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
- Febriyanti, Rosiana.2013. “Metode Pembelajaran Sejarah” Republika 16 Maret
- Gardiner, Juliet (ed). 1988. What is History Today...?. Hongkong: Macmillan Education.
- Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
- Hassan, Hamid.S. 2010. “Pendidikan Sejarah: Kemana dan Bagaimana? ” dalam Jurnal Pendidikan Sejarah AGSI. Jakarta: Asosiasi Guru Sejarah Indonesia & Institut Sejarah Sosial Indonesia.
- Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
- Munajat, Ade. 2004. Sejarah 1. Bandung: Remaja Rosdakarya.
- Resink, G.J. 2012. Bukan 350 Tahun Dijajah. Depok: Komunitas Bambu.
- Sjamsudin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
- Soedjatmoko (ed). 1995. Historiografi Indonesia. Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
- Swantoro, P. 2002. Dari Buku ke Buku. Jakarta: KPG & Tembi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar