Jumat, 09 September 2016

Satu Negara Dua Kerajaan


Satu Negara Dua Kerajaan

Konflik di Thailand selatan terus berlanjut. Ada perbedaan latarbelakang sejarah dan budaya.
Historia
dibaca
9.7k
A A
NARATHIWAT, Thailand selatan awal September 2010. Hari masih pagi. Wilas Petchprom dan istrinya, Komka, bersepeda motor menuju sebuah pasar di Narathiwat sebelum mengisi kelas pagi di sekolahnya. Di tengah perjalanan, mereka ditembak mati orang-orang bersenjata. Pembunuhan itu merupakan bagian dari kekerasan bersenjata bernuansa separatis yang telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir di Thailand. Siapa saja yang terkait dengan sekolah umum sering jadi sasaran pembunuhan di provinsi-provinsi Thailand selatan. Bagi para penyerang bersenjata, sekolah umum merupakan simbol dominasi politik dan budaya Thailand.
“Sekitar 70 persen dari guru-guru di Narathiwat membawa senjata,” kata Sanguan Inrak, ketua dari Persatuan Guru Narathiwat, lembaga yang mewakili hampir 7.000 guru sekolah dasar dan menengah, seperti dikutip Inter Press Service, 27 September 2010.
“Kekerasan fundamental Islam di Thailand berpusat pada aktivitas-aktivitas separatis penduduk Melayu-Muslim di tiga provinsi, yakni Pattani, Yala, dan Narathiwat,” tulis Jason F. Isaacson dan Colin Lewis Rubenstein (editor) dalam Islam in Asia: Changing Political Realities.
Di masa lalu, Pattani, Yala, dan Narrathiwat merupakan wilayah Kesultanan Pattani –awalnya kerajaan tertua di Semenanjung Malaya bernama Langkasuna, yang berdiri pada abad ke-2. Ia berulangkali menjadi wilayah vasal kerajaan lain: Sriwijaya, Nakhon Si Thammarat, Sukhothai; hingga kembali menjadi wilayah otonom pada abad ke-15 dan menjadi kerajaan Islam bernama Kesultanan Pattani.
Sebagai wilayah otonom, perdagangan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan di Pattani berkembang pesat. Hubungan diplomatik terjalin dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Pattani jadi satu titik penting dalam perniagaan Selat Malaka. Menurut Peter Chalk, “Militant Islamic Separatism in Southern Thailand”, yang dimuat dalam Islam in Asia: Changing Political Realities, kawasan itu meningkat menjadi satu entitas sosio-politik religius, dan terus menikmati identitas penuh yang terpisah dari kerajaan Thai-Buddha yang telah berdiri di utara.
Pattani sempat berjaya di era Sultan Muzaffar Shah pada pertengahan abad ke-16. Sultan mendirikan masjid pertama, Krisek atau Krue Se, di provinsi Pattani yang berarsitektur Timur Tengah. Zaman keemasan berlanjut para era empat ratu yang memerintah sejak 1584: Ratu Hijau, Ratu Biru, Ratu Ungu, dan Ratu Kuning. Kekuatan ekonomi dan militernya mampu menghadapi empat kali invasi kerajaan Siam dengan bantuan kesultanan Pahang dan Johor –kini bagian dari Malaysia.
“Pada abad ke-17, kerajaan itu muncul sebagai pusat utama ilmu pengetahuan Islam di dunia Melayu, dihormati oleh banyak kesultanan, setara dengan kesultanan Aceh yang prestisius,” tulis Chalk.
Pattani mengalami kemunduran ketika Ayudhya atau Ayutthaya, cikal-bakal kerajaan Siam, menginvasinya pada 1688. Sultan Muhammad, yang berkuasa di Pattani saat itu, terbunuh dalam pertempuran. Kota Pattani dibumihanguskan. Pattani sendiri mengalami konflik internal, yang kian memudarkan kejayaan mereka.
Pattani kembali merdeka setelah Ayudhya kalah perang dari Burma. Setelah lama berada di bawah cengkeraman Burma, pada abad ke-18, Dinasti Chakkri di bawah Raja Rama I kemudian berhasil menyatukan kembali kerajaan Siam. Siam bangkit kembali dan bahkan lebih kuat. Dipimpin Pangeran Surasi, adik dari Raja Rama I, “pasukan Siam menginvasi Pattani pada 1786 dan membagi kerajaan Muslim itu menjadi tiga provinsi,” tulis Karl R. deRouen dan Paul Bellamy dalam International Security and the United States: an Encyclopedia, Volume 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar