Jumat, 09 September 2016

sejarah hukum bahasa indonesia

eriode Kolonialisme
Baik di Indonesia (menurut hukum adat) maupun dinegeri belanda dahulu, tidak dikenal suatu pembedaan suatu hukum. Baik hukum yang mengatur antar negara, antar warga negara, dan juga hukum yang mengatur anat perorangan. Dalam masa kolonialisme indonesia terbagi menjadi tiga kelompok penduduk:
a)      Penduduk Indonesia, yaitu penduduk tradisional Indonesia, tanpa ada campuran darah dari penduduk asing. Dalam penduduk asli dalam perilaku hukum yang mengatur dalam kehidupan mereka selalu sama dan hukum adat mereka, sehingga kedudukan hukum serta adat istiadat mereka sama.
b)      Penduduk Timur Asing
Dalam penduduk Timur Asing di Indonesia dapat di bedakan menjadi dua yakni; Tionghoa dan juga Timur asing lainnya (seperti orang Arab dan India), untuk orang-orang Tionghoa ini hukum yang mengatur kehidupan mereka serupa dengan hukum di Eropa, sedangkan begitu pula dengan penduduk Timur Asing lainnya, hanya saja juga tercampur dengan adat asli mereka masing-masing
c)      Penduduk Eropa
Untuk kelompok penduduk Eropa ini dapat dibagi menjadi 4 bagian, yakni; orang Eropa, yang artinya Orang Indonesia Keturunan Eropa, baik itu belanda. Lalu orang Tionghoa, artinya orang Indonesia keturunan Tionghoa, orang Timur lainnya, yakni orang Indonesia keturunan Arab, India, dan yang terakhir orang Indonesia Pribumi.
Sedangkan menurut Soepomo menulisnya: “alam pikiran tradisional Indonesia (alam pikiran tradisional timur pada umumnya) bersifat kosmis , meliputi segala-galanya sebagai kesatuan (totaliter)”. [1] Umat manusia menurut aliran pemikiran kosmis itu adalah sebagaian dari alam, tidak ada pemisah-pemisahan dari berbagai macam lapangan hidup, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia ghaib dan tidak ada pemisahan antara manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Segala yang bercampur-baur dan bersangkut paut, segala sesuatu pengaruh mempengaruhi. Dunia manusia adalah pertalian dengan segala yang hidup di dalam alam. Aliran pikiran kosmis ini merupaka latar belakang hukum adat pelanggaran. Menurut aliran ini, yang paling utama pentingnya bagi masyarakat ialah adanya perimbangan (“evenwicht”, “harmonie”). Antara dunia lahir dan dunia gaib adalah antara golongan manusia seluruhnya dan orang seseorang, antar persekutuan dan teman semasyarakat. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali pertimbangan hukum.[2]
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a.                Periode VOC
Dalam sejarah hikum pidana tertulis di Indonesia, dapat dimulai sejak kedatangan bangsa Belanda di sini, di zaman VOC. Pada zaman itu hukum pidana yang berlaku bagi orang-orang Belanda di tempat pusat dagang VOC, ialah hukum kapal yang terdiri dari hukum Belanda kuno, ditambah dengan asas-asas hukum Romawi. Karena hukum kapal di tidak dapat menyelesaikan persoalan, maka dibuatlah peraturan-peraturan lebih lanjut oleh penguasa dipusat dagang yang dikeluarkan dalam bentuk plaktat-plaktat yang kemudian dihimpun menjadi “statuta Betawi”[3]. Yang dihimpun untuk wilayah Barat, yakni Sungai Cisedane, utuara, pulau-pulau Teluk Betawi, Timur, Sungai citarum, dan selatan Samudera Hindia.
Dalam usaha menengok masa lampau kita terbawa dalam sebuah peristiwa kepada perubahan penting perundang-undangan di negeri Belanda pada tahun 1838, yang  pada waktu itu mereka juga baru saja terlepas dari penjajahan Perancis. Pada waktu itu pula golongan legis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk Undang-undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa kelaaziman-kelaziman bukan merupakan hukum, kecuali dimana kelaziman itu ada dan situnjuk dalam undang-undang[4].
Sebenarnya sebelum itu VOC pada tahun 1947 telah mengatur organisasi peradilan pribumi dipedalaman, yang langsung memikirkan tentang “Javasche Wetten” (undang-undang jawa). Hal itu diteruskan oleh deendels dan Raffles utnuk menyelami hukum adat disetiap pengetahuannya.
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
Bagi beberapa daerah para penguasa VOC mencoba melakukan kodifikasi dari hukum adat utnuk mengadili mereka yang tunduk dengan hukum adat[5]:
a.      kodifikasi hukum adat Tionghoa oleh pusat VOC , yang berlaku untuk orang-orang Tionghoa di Betawi dan sekitarnya.
b.      Kodifikasi pepakem Cirebon (1757) oleh kuasa VOC di Cirebon , yang dimaksud untuk penduduk Bumiputera di Cirebon dan sekitarnya
c.       Kodifikasi kitab Hukum Mogharraer (1750, olehpenguasa Voc di Semarang, berlaku untuk penduduk Bumiputera di Semarang dan sekitarnya.
d.      Kodifikasi hukum Bumiputera Boni dan Goa, oleh penguasa VOC di Makassar yang berlaku untuk penduduk Bumiputera di Makassar dan sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar